Internasional – Sempat jadi kesayangan komunitas hak asasi manusia internasional, Aung San Suu Kyi kini mesti kembali kehilangan gelar bergengsi akibat kekerasan yang terjadi pada Muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar.
Pada Rabu (8/3), US Holocaust Memorial Museum mengumumkan telah mencabut Wiesel Award yang mereka berikan kepada Suu Kyi 2012 lalu.
Dalam surat kepada pemimpin de facto Myanmar itu, direktur Museum Sara Bloomfield menegaskan pihaknya “tidak mengambil keputusan ini dengan mudah,” tapi terpaksa bertindak menghadapi pengusiran dan pembunuhan massal yang diatribusikan pada pasukan keamanan negara tersebut.
Meski pengaruh politiknya di Myanmar terbatasi kesepakatan pembagian kekuasaan dengan militer, Suu Kyi menjadi pihak yang paling banyak dikritik karena tidak bisa bertindak lebih tegas dan mendukung para Rohingya.
“Kami sempat berharap Anda–sebagai seseorang yang dihargai oleh kami dan banyak pihak lain karena berkomitmen pada martabat dan hak asasi manusia universal–akan melakukan sesuatu untuk mengecam dan menghentikan operasi brutal militer dan menyuarakan solidaritas pada populasi Rohingya,” kata Boomfield dalam surat yang diunggah ke situs museum.
Alih-alih, kata Bloomfield, partai politik Suu Kyi “menolak bekerja sama dengan penyidik Perserikatan Bangsa-Bangsa, mendukung retorika kebencian terhadap Rohingya, dan menolak akses serta menindas wartawan yang berupaya mengungkap cakupan kekerasan di Rakhine State.”
Pada November, Suu Kyi sudah kehilangan penghargaan Freedom of the City of Oxford, yang diberikan kepadanya 1997 lalu atas “oposisi terhadap opresi dan kepemimpinan militer di Burma.”
Suu Kyi menempuh pendidikan di St Hugh’s College di Oxford University. Namun, fotonya di kampus itu pun sudah dicabut.
Elis Wiesel Award diberikan pada para penyintas holokaus yang sudah meninggal dan para penulis yang, seperti Suu Kyi, mendapatkan penghargaan Nobel Perdamaian.
Dalam penutup suratnya kepada Suu Kyi, Bloomfield menyertakan kutipan dari Wiesel: “Netralitas membantu para opresor, bukan korban. Kebungkaman mendorong para penyiksa, bukan yang tersiksa.”
Lebih dari 688 ribu pengungsi Rohingya melarikan diri dari Rakhine sejak Agustus lalu. Militer Myanmar berulang kali menampik klaim yang menyebutnya sengaja menyerang warga sipil.
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Kementerian Luar Negeri AS menyebut kekerasan di Myanmar merupakan satu bentuk pembersihan etnis. (aal)