BANDARLAMPUNG, beritaindonesianet-Di meja kayu pendek, Rahmi (36) berbagi ruang dengan Rafita (21). Di teras rumah sederhana Desa Margodadi, Kecamatan Jatiagung, Lampung Selatan, dua perempuan ini fokus kepada selembar kertas kising cokelat berpola batik bunga-bunga. Suara lagu dangdut dari smartphone terus mengisi ruang dengar sebagai pelepas penat.
“Oh, Bu Eva. Itu mah bos kami. Bos sulam usus. Yang kami kerjain ini dari dia. (Rumahnya) nggak jauh lagi, Desa Simpangagung, pinggir jalan kok. Bapak mau ngambil pesanan, ya?”
Kalimat itu meluncur deras saat seorang pengendara SUV turun menanyakan alamat Eva Herawati kepada dua wanita penyulam itu. Obrolan spontan itu memberi kesan reputasi Eva sudah sangat kondang sebagai penyokong ekonomi warga desa-desa sekitarnya. Kerajinan sulam usus yang digeluti Eva sejak 20 tahun lalu itu menjadi salah satu pintu rezeki mereka.
Menyinggahi rumah Eva memang tidak ada kesan sebagai pengusaha. Satu ruang paviliun ukuran 3×3 meter di serambi kanan dengan dua lemari kaca dan onggokan kain-kain sulam usus dan gulungan tali berbahan kain tersampir di besi penggantung. Empat gadis belia bersimpuh pada ambal menarikan jari-jari lentiknya memasang mote-mote pada rajutan sulam usus yang sudah berpola.
Eva mengatakan, usaha sulam usus ini ia geluti sejak masih gadis. Perempuan Lampung berusai 45 tahun ini mengaku belajar merajut kain sulam usus dari Herwan, kakaknya yang pernah dididik oleh maestro sulam usus, Aan Ibrahim.
“Saya diajari sama kakak saya. Namanya Herwan. Dia pernah bekerja dan dididik sama Aan Ibrahim. Bahkan pernah dikursuskan di Jakarta sama Bang Aan,” kata istri dari Darwansyah ini.
Merintis dari membuat taplak meja sulaman kain satin yang dipilin membentuk tali (menyerupai usus), perempuan lulusan SMA ini mulai menerima pesanan untuk membuat kebaya. Ketika pesanan mulai tak tertampung, ia mulai meminta bantuan kepada kerabat dekat. Lalu, jumlah ibu-ibu yang terlibat semakin banyak dan meluas.
“Sekarang, kalau 200 orang mah lebih dari 10 desa sekitar sini. Masing-masing desa ada kordinatornya. Kordinator inilah yang membagi ke anak buahnya. Sebab, nggak mungkin dikerjain sendiri. Satu baju itu bisa dikerjain enam orang,” kata ibu tiga anak ini seraya menyebut nama Desa Margadai, Simpangagung, Sinarrejeki, Sumberjaya, Komando (Margorejo), Sosial, Gedungdalem, Gedungagung, dan Banjaragung.
Meski sudah beromset sekitar Rp200 juta per bulan, hingga kini usaha Eva belum berbentuk badan hukum, bahkan tanpa merek. Namun, atas dasar kepercayaan dan reputasinya yang teruji, PTPN VII sebagai BUMN yang peduli kepada pelaku usaha kecil terus memberi dukungan.
“Kalau nggak salah sejak 2008 saya sudah dapat pinjaman dari PTPN VII. Waktu itu dapat Rp10 juta, terus dua tahun berikutnya dapat Rp20 juta, naik lagi jadi 30 juta, dan terakhir tahun lalu dapat Rp40 juta. Sama PTP (PTPN VII) enak, bunganya kecil banget, nagihnya juga ramah. Jadi, hubungan kami juga enak,” tambah Eva.
Resonansi Eva bukan sekadar reputasi namanya yang sohor, tetapi efek ekonomi dan ketenteraman lingkungan. Saat ini, para perempuan di seputaran Jatiagung wilayah Timur sudah menemukan opsi membantu ekonomi suaminya melalui sulam usus Eva. Pesanan busana berbasis sulam usus kepada Eva terus mengalir, bahkan di masa pandemi sekalipun. Imbasnya, ibu-ibu dan remaja puteri, bahkan dibantu suaminya, bisa mengisi waktu senggang dengan menyulam tempahan dari Eva.
“Nyulam usus ini nggak sulit. Kalau mau pasti bisa. Jadi, hampir nggak ada lagi ibu-ibu di sini yang nganggur pas waktu luangnya. Hampir setiap hari kordinator ngambil bahan ke sini, terus mereka bagi. Sambil ngobrol di rumah, mereka sambil nyulam,” kata Eva yang mengaku busana sulam usus besutannya pernah dibawa ke Jepang, dipesan artis Iis Dahlia, langganan istri pengusaha Yusuf Kohar, dan beberapa nama kondang lain.
Eva mengakui, penghasilan para penyulam itu belum besar. Tetapi sebagai pengisi waktu, ia menyebut jika intensif, para penyulam yang mengerjakan sulamannya di rumah masing-masing itu bisa dapat Rp1,5 juta per bulan.
Dukungan PTPN VII untuk usaha sulam usus Eva memang tak terputus. Setiap kali mengusulkan pinjaman, pihak PTPN VII selalu merespons dengan baik. Hal itu karena usaha ini memiliki nilai tambah untuk kesejahteraan warga sekitar.
Sekretaris Perusahaan PTPN VII Bambang Hartawan sangat mengapresiasi model bisnis yang dikembangkan Eva. Ia mengaku, model usaha yang mempunyai multiflier effect kepada kesejahteraan lingkungan akan menjadi perhatian khusus untuk pola kemitraan PTPN VII ke depan.
“Kami kasih atensi khusus kepada pelaku usaha yang resonansi ekonominya lebih luas, terutama yang padat karya dan melibatkan idle resources. Seperti yang dikembangkan Bu Eva ini. Sulam usus sampai hari ini belum ada mekanisasi atau alat modern yang bisa mengerjakan. Dan yang pasti, ibu-ibu rumah tangga yang terlibat bisa menambah penghasilan,” kata dia.
Bambang menambahkan, seiring kondisi PTPN VII yang mulai memasuki fase sustainable, ke depan pihaknya akan meningkatkan peran sertanya untuk program TJSL. Pada 2021, meski masih dalam kondisi perbaikan kinerja, PTPN VII tetap menyalurkan dana kemitraan kepada Usaha Mikro Kecil (UMK) sekitar Rp8,6 miliar. Dia mengaku akan mengupayakan alokasi penyaluran dana TJSL tahun 2022 secara optimal. (nur)