GEDONGTATAAN, beritaindonesianet—Kompleks Tambak Udang Terpadu Dipasena, Tulangbawang 1998. Euforia reformasi yang sedang berada pada puncaknya mengimbas ke kawasan satelit penghasil udang terbesar kedua di dunia itu. Tuntutan karyawan yang dilampiaskan dengan demonstrasi mengusik kehidupan di dalam kompleks yang saat itu begitu semarak.
Dinamika itu terus memanas. Keteguhan Septi Fatimah bersama suaminya, salah satu pemilik toko di dalam kompleks yang cukup mapan itu goyah. Padahal, sejak awal 1990-an ia berbulat tekad keluar dari desa untuk mencari peruntungan rezeki di kawasan yang sempat mocer itu.
“Awalnya saya bersama suami di Dipasena. Sebenarnya saya sudah cukup mapan di sana, tetapi waktu reformasi itu, suasananya panas. Hampir setiap hari ada demo dan kadang ada yang jadi korban. Akhirnya, tahun 2001 saya bersama suami dan anak-anak keluar dan pulang kampung,” kata perempuan setengah baya itu menceritakan kisah toko sembakonya.
Desa Bagelen, Kecamatan Gedongtataan, Pesawaran mencatatkan lagi nama dia dan suaminya sebagai warga. Dari nol, merekaa kembali merintis toko kelontong di rumah. Namun, pengalaman dan kontak relasi yang sudah dia kantongi menjadi modal untuk bisa bangkit kembali.
“Saya hubungi para pemasok barang kebutuhan yang dulu ngirim ke Dipasena. Akhirnya, saya bisa buka lagi di sini. Alhamdulillah, saya bisa dapat barang dengan harga yang bisa saja jual kembali dengan harga grosir,” kata perempuan berjilbab ini.
Usaha toko sembakonya semakin berkembang sejak mendapat pinjaman dana murah dari PTPN VII. Septi yang tinggal bersama dua anaknya karena suaminya meninggal pada 2019 lalu punya prinsip dagang yang membuat para pelanggannya terus ingin kembali.
“Prinsip dagang saya, yang penting ada untung walaupun sedikit. Sedikit-sedikit kalau kali banyak kan jadi banyak juga. Yang penting, pelanggan bisa mendapat harga yang tidak dianggap mahal,” kata dia.
Kios sembako Septi Fatima merupakan toko yang cukup lengkap di lingkungan yang masih suasana desa itu. Buka dari pagi sampai malam, ia menjual segala kebutuhan rumah tangga mulai dari sabun, beras, tepung, hingga obat-obatan, dan masih banyak lagi yang lainnya,.
“Saat ini harus kerja keras karena dua anak saya masih kuliah dan SMK,” tambah dia.
Ia bersyukur dalam situasi pandemi tokonya masih terus menelurkan rezeki untuk menghidupi keluarga. Kiat lain selain harganya yang lebih kompetitif, Septi mengaku terbiasa melayani pembeli dengan keramah tamahan.
“Kalau pembeli dilayani dengan ramah, pasti dia akan merasa nyaman dan kembali berbelanja di toko kita.”
Saat ini rata rata omset yang didapat perhari mencapai Rp2 juta. Dari omset itu, ia mengaku masih ada keuntungan yang bisa dikumpulkan untuk menambah modal dan menutup kebutuhan sehari-hari.
“Alhamdulillah, dengan omset ini masih dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Saya juga masih bisa menyisihkan untuk membayar angsuran pinjaman lunak dari PTPN VII. Kalau bisa, setelah lunas ini PTPN VII bisa memberikan bantuan kemitraan ini lebih besar lagi,” kata perempuan ramah dan cekatan ini. (nur)