JAKARTA, beritaindonesianet– Menteri Keuangan Republik Indonesia (Menkeu RI), Sri Mulyani
Indrawati, mengatakan reformasi perpajakan sangat diperlukan untuk mendukung upaya
mewujudkan Indonesia maju. Indonesia maju adalah cita-cita Indonesia menjadi negara high
income dengan kekuatan ekonomi terbesar keempat di dunia pada tahun 2045.
“Di masa bonus demografi menjadi momentum reformasi untuk penguatan fondasi dan daya
saing dibutuhkan reformasi struktural yang didukung dengan reformasi fiskal yang berkelanjutan,”
ujar Sri Mulyani dalam acara kick off sosialisasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan
Perpajakan (UU HPP) yang diselenggarakan di Bali Nusa Dua Convention Center pada Jumat,
19 November 2021. Acara kick off sosialisasi UU HPP ini sendiri merupakan awal rangkaian
kegiatan sosialisasi terkait UU HPP yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Namun, Sri Mulyani melanjutkan, di tengah upaya mewujudkan Indonesia maju, pandemi Covid-
19 mengguncang perekonomian dan menimbulkan tekanan fiskal yang signifikan. Pada tahun
2020, pertumbuhan ekonomi terkontraksi -2,07%, jauh di bawah ekspektasi APBN 5,3%.
Penerimaan pajak melemah hingga hanya mencapai 8,33% PDB di bawah kondisi rata-rata
dalam lima tahun terakhir di angka 10,2%, sementara defisit dan rasio utang meningkat tajam.
Sampai dengan saat ini, APBN telah bekerja keras untuk menahan agar pemburukan tidak terjadi
terlalu dalam. Oleh sebab itu, untuk mengantisipasi dampak pemulihan perekonomian
pascapandemi yang masih dibayangi ketidakpastian, reformasi perpajakan yang mendorong
sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel menjadi semakin diperlukan. Untuk
itulah, UU HPP lahir.
UU HPP sendiri menurut Sri Mulyani adalah suatu bekal untuk meneruskan perjalanan Indonesia
maju yang mengalami disrupsi yang luar biasa akibat Covid-19. Reformasi yang dilakukan pada
masa pandemi ini diharapkan menjadi momentum yang tepat untuk mengantisipasi dampak
ketidakpastian ekonomi global dan diharapkan dapat menjadi instrumen multidimensional
objektif, yaitu fungsi penerimaan pajak yang bersamaan dengan pemberian insentif untuk
mendukung dunia usaha pulih, namun tidak menjadikan administrasinya semakin sulit.
Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dito Ganinduto, yang turut hadir dalam
acara tersebut, mengungkapkan pandangannya. Menurutnya, UU HPP adalah hasil kolaborasi
semua pemangku kepentingan. DPR RI melibatkan setidaknya 80 asosiasi, akademisi,
organisasi pendidikan dan kesehatan, Himbara, dan banyak lagi untuk didengarkan
pendapatnya. Setelah UU HPP ini disahkan, DPR RI berkomitmen untuk terus mengawal
reformasi yang dilakukan pemerintah dan terus bekerja sama dalam pelaksanaan dan
pengawasan UU HPP, sehingga tujuan pembentukan UU untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat dapat tercapai.
Senada dengan itu, pada acara yang sama, Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, mengatakan
disebabkan perkembangan ekonomi pascapandemi dan keterbatasan kapasitas administrasi dan
kebijakan, pemerintah melalui DJP menyusun materi RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP), yang telah berada di program legislasi nasional (prolegnas) dan merupakan bagian dari tahapan reformasi kebijakan fiskal DJP, tidak hanya berisi ketentuan formal tetapi
juga ketentuan material, seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Cukai,
Pajak Karbon, dan Program Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak. Pada akhirnya, RUU KUP
tersebut disetujui dengan nama RUU HPP dengan beberapa perubahan yang didasarkan pada
masukan dari para pemangku kepentingan, seperti perubahan pada ketentuan PPh, PPN, serta
mengubah Program Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak menjadi Program Pengungkapan
Sukarela (PPS).
Masih pada acara yang sama, yang juga menghadirkan Wakil Gubernur Bali, para anggota DPR
RI, Asosiasi KADIN dan APINDO, serta Wajib Pajak (WP) prominen di Provinsi Bali tersebut,
Suryo juga mengungkapkan bahwa setelah pengesahan UU HPP tanggal 29 Oktober lalu,
direncanakan akan ada 43 aturan pelaksana UU HPP, 8 dalam bentuk Peraturan Pemerintah
(PP) dan 35 dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Oleh sebab itu, pemerintah
sangat mengharapkan masukan dari para pemangku kepentingan dalam penyusunan aturan
pelaksana tersebut.
Lebih lanjut, menurut Suryo, walaupun UU HPP telah selesai dan nanti aturan pelaksana sudah
siap, tanpa sosialisasi yang kuat dikhawatirkan implementasinya tidak maksimal. Oleh sebab itu,
DJP berencana melakukan rangkaian kegiatan sosialisasi, termasuk acara kick off sosialisasi
yang dilakukan pada tanggal 19 November 2021 ini. Setelahnya, DJP akan melanjutkan
roadshow sosialisasi UU HPP, khususnya PPS yang jangka waktunya hanya enam bulan sejak
1 Januari 2022, di beberapa kota lain di Indonesia, seperti Medan, Jakarta, Bandung, dan
Balikpapan. Optimalisasi media sosial dan media massa dilakukan melalui talkshow, media
briefing, dan media gathering. Para Fungsional Penyuluh Pajak di masing-masing unit vertikal
DJP dikerahkan untuk menyosialisasikan UU HPP di wilayah kerja masing-masing. Selain itu,
dilakukan juga dialog serap aspirasi kepada asosiasi-asosiasi di Indonesia. “Sosialisasi kepada
para pengusaha asosiasi juga dilakukan sembari menyerap aspirasi untuk penyusunan aturan
pelaksanaan dari UU HPP,” tutup Suryo.
(hen)