JAKARTA, beritaindonesianet – Hasil riset yang dilakukan BNPB dan ITB mengenai bahaya tsunami di selatan Jawa menunjukkan adanya potensi gempa yang dapat membangkitkan tsunami di dua lokasi selatan Jawa. Dua lokasi tersebut berada di kawasan selatan Banten – Jawa Barat dan selatan Jawa Tengah – Jawa Timur.
Mengantisipasi temuan ilmiah yang sudah dipublikasikan di dalam jurnal internasional Nature tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mendesain upaya mitigasi terintegrasi. Salah satu Langkah yakni pembangunan _greenbelt_ yang akan dilakukan dalam waktu dekat. _Greenbelt_ atau sabuk hijau yang akan dibangun merupakan gugusan tanaman yang mengkombinasikan dua jenis pohon, yaitu mangrove dan pohon palaka.
Mangrove ditanam di sisi menghadap ke laut dengan jenis pandanus atau jenis mangrove lain yang bisa tumbuh di substrat pasir. Tanaman ini berfungsi untuk mereduksi energi tsunami. Sedangkan palaka, pohon yang termasuk tanaman keras ini berfungsi sebagai lapisan pelindung di sisi belakang atau sisi darat.
Abdul Muhari, Ph.D, Plt. Direktur Pemetaan dan Evakuasi Risiko Bencana BNPB menuturkan bahwa ketebalan dan formasi penanaman vegetasi ini akan diatur sedemikian rupa berbasis perhitungan ilmiah agar penetrasi tsunami tidak terlalu jauh ke arah darat dan dapat meminimalisir korban dan kerusakan di daratan.
“Kegiatan penanaman ini diupayakan akan dimulai pada awal tahun dengan berkoordinasi dengan Pemda setempat,” ujar Muhari saat memaparkan hasil riset di hadapan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Provinsi Jawa Tengah, pada Senin (28/12).
Selanjutnya, Muhari menambahkan bahwa berdasarkan hasil riset ini, terdapat segmen yang berada di selatan Banten – Jawa Barat dengan potensi energi hingga magnitudo 8,8.
“Sedangkan segmen Jateng – Jatim berpotensi memiliki energi magnitudo 8,9 yang jika terlepas secara bersamaan akan menghasilkan potensi energi setara magnitudo 9,1,” ujarnya.
Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyambut baik informasi yang telah disampaikan sekaligus memberikan arahan agar para kepala daerah segera menindaklanjuti informasi tersebut. Rencana mitigasi berbasis ekosistem _(greenbelt)_ tersebut perlu segera dilakukan karena dapat digunakan sebagai frontline yang mengurangi dampak tsunami.
“Kita harus memanfaatkan momentum musim hujan yang masih berlangsung hingga bulan Maret tahun depan agar penanaman ini dapat berjalan baik dan vegetasi yang dinaman bisa tumbuh sempurna,” tegas Ganjar.
Berdasarkan data dari BNPB masih banyak kabupaten yang belum memiliki dokumen perencanaan penanggulangan bencana di antaranya Kajian Risiko Bencana (KRB).
Ganjar mendorong agar kabupaten yang belum memilikinya agar segera melakukan penyusunan KRB dengan pendampingan dari provinsi dan BNPB. Hal ini dapat dijadikan sebagai langkah awal untuk mengidentifikasi risiko bencana di seluruh kabupaten untuk selanjutnya menetapkan rencana aksi yang diperlukan.
Hal lain yang menjadi perhatian Ganjar adalah hasil riset yang disampaikan oleh Abdul Muhari pada saat tsunami 2011 di Jepang, yang menunjukkan bahwa tsunami seringkali menghasilkan kerusakan tambahan _(collateral damage)_, seperti kebakaran karena gelombang yang menerjang kilang minyak menghancurkan tempat penyimpanan minyak berskala besar, sehingga bahan yang mudah terbakar tersebut akan terbawa air dan membakar apa saja yang ditemukannya, baik di darat atau di laut.
Menyikapi potensi tersebut, Ganjar menyampaikan perlu dilakukan pertemuan dengan pihak Pertamina yang memiliki fasilitas penampungan bahan bakar minyak di Kabupaten Cilacap. Pertemuan ini bertujuan untuk mendiskusikan perlunya penguatan atau perbaikan fasilitas-fasilitas vital yang akan berpotensi memberikan collateral damage pada saat tsunami terjadi.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu memperkuat upaya pengurangan risiko bencana (PRB), seperti kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana tsunami. Kesiapsiagaan tersebut dapat dilakukan dengan memperkuat desa tangguh bencana, melakukan latihan kesiapsiagaan bersama dengan pemerintah dan masyarakat terutama di daerah sepanjang selatan Jawa, minimal tiga kali dalam satu tahun.
Beberapa daerah teridentifikasi telah memiliki tempat evakuasi sementara (TES), namun tidak seluruhnya karena beberapa daerah terletak di dataran rendah. Untuk itu, Dr. Abdul Muhari menyampaikan untuk daerah-daerah yang berada di dataran rendah, TES dapat memanfaatkan sekolah atau bangunan-bangunan tinggi yang tahan gempa dan tsunami.
Selain itu, fasilitas umum seperti jembatan penyeberangan juga dapat digunakan sebagai _temporary vertical evacuation_, seperti yang sudah dilakukan di Jepang. Fasilitas tersebut harus didesain sedemikian mudah dijangkau oleh masyarakat yang akan berlari untuk menyelamatkan diri.
Riset mengenai potensi tsunami ini disampaikan oleh Abdul Muhari dan peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof. Sri Widyantoro dan Rahma Hanifa di hadapan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah, para bupati di kawasan selatan Jawa, TNI, Polri, serta Forkopimda lingkup Provinsi Jawa Tengah.(hen/rls)