MADIUN, beritaindonesianet- Sertifikasi tanah yang menjadi bagian dari reforma agraria terindikasi sebagai ajang bisnis bagi sebagian pegawai yang membidanginya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Madiun.
Hal itu saat ini tengah menjadi sorotan Bambang Gembik, tokoh LSM yang juga pemerhati kebijakan publik. “Pengamatan saya saat ini tengah terfokus pada penjualan sampul plastik dan kas keuangan koperasi yang bernaung di bawah Kantor BPN Kabupaten Madiun,” aku Bambang Gembik kepada jurnalis, Kamis 24/9).
Dipaparkan Gembik, panggilan gaul Bambang Gembik, pihaknya mencurigai posisi kas koperasi, dari hasil keuntungan penjualan sampul plastik sebagai pelengkap buku sertifikat tanah warga, yang cuma Rp. 200 juta.
Padahal, menurut kalkulasi kasar Gembik, harusnya kas Koperasi Bumi Bhakti terdapat dana segar sekurang kurangnya sebesar Rp. 1.792.500.000.
Angka tersebut dihitung secara kasar Gembik dari keuntungan Rp. 15.000/ lembar, dari harga sampul sebesar Rp. 25.000/ lembar.
Jika keuntungan tersebut dikalikan jumlah peserta Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) mulai 2017 hingga 2020 yang mencapai 119.500 peserta, ketemu Rp. 1.792.500.000.
Ketua Koperasi Bumi Bhakti, Rangga, saat hendak dikonfirmasi jurnalis dan LSM tidak berada di tempat. “Beliau sudah pindah ke BPN Gresik,” jelas Andri Satriya, SH, Kasubag TU BPN Madiun, Kamis(24/9). Pernyataan tersebut dibenarkan I Made Supriyadi, Kasubag Hukum, yang mendampingi Andri Satriyo.
Sementara Pengawas koperasi yang juga pegawai BPN setempat, Dwi Joko Sulistyo, tak mengelak perihal keuangan pada kas koperasi yang diawasinya tinggal Rp. 200 juta. “Iya kas di koperasi sini cuma tinggal Rp. 200 juta,” tutur Joko di Kantor BPN kepada jurnalis dan LSM.
Joko tidak bisa menjelaskan bab kas koperasi yang minim, dibanding keuntungan penjualan sampul yang mencapai lebih dari Rp. 1 milyar.
Sementara sumber yang enggan privasinya di online kan membeber bahwa,
pegawai koperasi membeli sampul di percetakan seharga Rp. 7500/ lembar. Lalu dijual ke Koperasi Bumi Bhakti seharga Rp. 10.000/ lembar. Kemudian dijual lagi ke peserta PTSL sebanyak 119.500 orang dengan harga Rp. 25.000/ lembar.
Disitu terkoreksi keuntungan variatif. Pegawai BPN menjual ke koperasi meraup untung Rp 2.500/ lembar. Sedangkan pihak koperasi menjual kepada warga, mendapat untung Rp. 15.000/ lembar.
Hal itu dibantah Kasubag Hukum, I Made Supriyadi, dengan diplomasi hitungan tersebut bersifat mengeneralisir. Namun saat jurnalis meminta klarifikasi dengan minta untuk membuka pembukuan koperasi, dia berkilah tidak memiliki kewenangan.
Terkait keuntungan, menurut Made, dianggap lumrah. Mengingat setiap usaha, katanya, selalu mendambakan provit.
Meski demikian, Made tak bisa menjawab konfirmasi jurnalis, bahwa provit setiap usaha dagang tetap harus menjaga asas kepatutan dan etika meraih untung.
“Kalau jenengan well come, saya juga well come. Namun jika jenengan nekat, saya bisa lebih nekat,” gertak Made, tanpa menjelaskan frase kalimat yang disampaikannya.
Sementara Kepala Dinas Koperindag Pemkab Madiun, Indra Setyawan, menyatakan pihaknya hanya melakukan pembinaan kelembagaan, terhadap setiap usaha koperasi yang berada di wilayahnya.
“Jadi kami hanya bersifat melakukan pembinaan kelembagaannya saja. Bab keuangan itu menjadi urusan ketua dan pengawas koperasi,” jelas Indra Setyawan. (fin)