CIREBON, beritaindonesianet– _Flood Early Warning System_ (FEWS) yang terpasang di wilayah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat berfungsi baik memberikan peringatan dini bahaya saat banjir melanda tiga kecamatan pada Minggu (16/2) lalu. Pemasangan sistem peringatan dini banjir atau FEWS dilakukan atas kerja sama BNPB, UGM dan BPBD Kabupaten Cirebon.
Hal tersebut disampaikan pada Minggu (16/2) oleh staf Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Cirebon Daiman yang telah dilatih sebagai petugas dan tim teknis pengoperasian sistem peringatan dini banjir. Saat itu, alat dari rangkaian sistem berbunyi yang menunjukkan pada level ‘waspada’ karena curah hujan sedang hingga tinggi.
Beberapa saat kemudian alat berbunyi yang menunjukkan level 2 atau ‘siaga’ karena tinggi muka air sudah melewati tanggul bawah. Selanjutnya, alat berbunyi lagi sebagai tanda level 3 atau ‘awas.’ Bunyi alat pada level ini menunjukkan bahwa tinggi muka air sudah hampir sampai menyentuh tanggul atas sungai, jelas Daiman.
“Karena sistem peringatan ini untuk meminimalkan risiko, maka BPBD Kabupaten Cirebon berinisiatif untuk mengungsikan sementara warga ke kantor kecamatan. Kejadian ini terjadi sekitar pukul 22.00 WIB dan warga baru dipulangkan setelah kondisi air sudah surut,” jelas Daiman.
Kabupaten Cirebon merupakan salah satu kabupaten yang termasuk dalam daftar lokasi pemasangan instrument bagian dari FEWS tahun anggaran 2019, dari 25 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia yang mendapat fasilitas pemasangan alat peringatan dini banjir tersebut. Jumlah alat terpasang di Kabupaten Cirebon sebanyak satu unit.
Tujuan utama dari pemasangan sistem peringatan dini banjir (FEWS) adalah membangun kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana banjir. Oleh karena itu, perlu ada replika pemasangan FEWS ini di lokasi-lokasi rawan banjir serta perlu adanya peningkatan kapasitas masyarakat.
Dengan penerapan sistem ini, apabila terdeteksi tanda-tanda kejadian bencana banjir, masyarakat dapat segera melakukan tindakan evakuasi agar kerugian jiwa, harta benda dapat diminimalkan.
Mitigasi non struktural dalam menghadapi bahaya banjir mulai dikembangkan pada tahun 2006. Sistem peringatan dini banjir yang dibangun oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) menerapkan alat penakar hujan, _Automatic Water Level Recorder_ (AWLR) dengan berbagai sensor dan sirine peringatan yang dipasang di berbagai lokasi sepanjang Sungai Bengawan Solo dan aliran sungai yang berhulu di Gunung Merapi.
Masyarakat turut dilibatkan sebagai bagian dari FEWS yaitu pembentukan tim siaga bencana tingkat desa. Mereka bertugas dalam instalasi instrumen, pengoperasian dan pemeliharaan alat. Di samping itu, masyarakat juga terlibat dalam pembuatan peta evakuasi, prosedur tetap dan gladi evakuasi dalam menghadapi potensi bahaya.
Dengan keberhasilan membangun sistem peringatan dini banjir berbasis masyarakat tersebut, BNPB bersama UGM dan BSN menyusun Standar Nasional Indonesia (SNI) Sistem Peringatan Multi-Bencana, termasuk bencana banjir, dan mengusulkan menjadi standar internasional. Pada 2017 BSN mengesahkan SNI 8235:2017 tentang Sistem Peringatan Dini Gerakan Tanah dan selanjutnya pada 2018 mendapatkan standar internasional dengan ISO 22327 mengenai _Guidelines for Implementing of a Community-based Landslide Early Warning System_. Sementara itu, ISO 22328 tentang sistem peringatan dini multi bencana dan bencana banjir sedang dalam proses pembahasan oleh komite teknis internasional, yang nantinya menggunakan standar ISO/TC 292.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, banjir melanda tiga kecamatan di Kabupaten Cirebon yaitu Kecamatan Ciledug, Pasaleman dan Pabedilan, dengan total rumah tergenang mencapai 1.120 rumah. “Kejadian banjir tersebut tidak menyebabkan korban jiwa,” ujar Agus Wibowo, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Bencana BNPB. (hen)