Kesehatan – Menjadi orang baik yang memiliki jalan hidup yang lurus-lurus saja mungkin menjadi harapan sebagian orang. Di sisi lain, ada pula yang justru enggan menjadi orang yang (terlalu) baik karena menurut mereka, baik identik dengan depresi. Sering menahan perasaan dan selalu mengutamakan kebutuhan orang lain ketimbang dirinya sendiri terkadang bikin hati tertekan, hingga depresi. Lantas, benarkah berusaha menjadi orang baik malah merugikan kesehatan mental diri sendiri?
Dilansir dari Reader’s Digest, sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature Human Behavior mengatakan bahwa orang baik lebih sering menerima ketidakadilan di dalam hidupnya ketimbang orang-orang egois.
Ketidakadilan yang mereka dapatkan pun diterima begitu saja. Karena itulah, orang yang selalu menahan segala ketidakenakan dalam hatinya cenderung menunjukkan gejala depresi ketimbang orang-orang egois.
Dalam penelitian tersebut, Dr. Masahiko Haruno dan tim melihat apakah benar pola pikir pro-sosial atau pola pikir yang mau berkorban dan mau mengindahkan kesetaraan berkaitan dengan depresi. Mereka memberikan tes kepribadian kepada 350 orang untuk menentukan, apakah mereka termasuk tipe pro-sosial atau individualis.
Selanjutnya, mereka juga mengukur keinginan tiap peserta untuk berbagi kepada orang yang kurang beruntung. Dari tes kepribadian dan kerelaan berbagi itu, peserta dapat dipisahkan menjadi dua kelompok. Setelah itu, otak para peserta diperiksa menggunakan pencitraan resonansi magnetik fungsional (MRI) untuk dilihat area otak mana yang aktif selama situasi itu. Hasilnya, gambaran otak kedua tipe kepribadian itu sangat berbeda.
Saat mereka memberikan sejumlah hartanya kepada orang lain, area otak yang aktif pada orang pro-sosial adalah amigdala. Amigdala merupakan wilayah evolusi otak yang terkait dengan respons otomatis, termasuk stres. Pada orang individualis, amigdala mereka baru aktif ketika melihat orang lain memiliki lebih banyak uang ketimbang mereka.
Orang baik punya rasa empati yang tinggi
Menurut para peneliti, alasan di balik fakta bahwa orang baik lebih rentan terkena depresi adalah karena mereka memiliki empati yang jauh lebih tinggi, kerap kali merasa bersalah, meski sebenarnya itu bukan sepenuhnya salah mereka, dan stres yang ekstrem.
Nah, kepekaan emosional tersebut rupanya terhubung ke area otak yang berhubungan dengan depresi. Kendati demikian, hal ini bukan berarti menjadi orang baik tidak memiliki keuntungan sama sekali dan menyuruh Anda menjadi orang yang egois, ya.
Sebab, ilmuwan saraf dari Rutgers University, Dr. Mauricio Delgado, mengungkapkan, masih ada bagian otak lain yang bisa menekan rasa depresi itu, yakni korteks prefontal. Korteks prefontal merupakan wilayah otak yang berfungsi untuk mengatur perasaan yang berlebihan.
Melatih bagian korteks prefontal, yaitu dengan terapi bicara, dapat mengendalikan dan memerangi emosi berlebihan pada orang pro-sosial. Dengan begitu, perasaan depresi akibat kerap menahan perasaan bisa diminimalkan.
Pada dasarnya, menjadi orang baik adalah hal yang patut dilakukan. Yang dihindari adalah menjadi orang yang terlalu baik hingga sering dimanfaatkan orang lain dan merugikan diri sendiri. Nah, ketika orang pro-sosial bisa lebih memilah-milah mana yang pantas dikorbankan dan mana yang tidak, rasa tertekan pun bisa dikurangi.
Lagi pula, menurut dr. Alvin Nursalim, setiap individu adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kebahagiaannya sendiri. Karena itu, jangan sampai Anda baik kepada orang lain, tetapi Anda tidak baik dan tidak menyayangi diri sendiri.
Tak ada salahnya untuk “bersuara” tanpa harus berkata kasar. Hindari juga menjadi pribadi “yes man” dan katakan “tidak” jika memang itu tidak sesuai dengan hati Anda agar depresidapat dihindari. Sebab, tak ada yang lebih bijak daripada membantu orang lain, tanpa harus merugikan diri sendiri. Jadi, jangan langsung patah semangat untuk menjadi orang baik, ya! (hns/rvs)