Jakarta – Tsunami yang menerjang kawasan pesisir Selat Sunda, Sabtu (22/12) masih dipertanyak sejumlah pihak. Lantaran tidak adanya peringatan kebencanaan dari tsunami yang disebabkan oleh aktivitas vulkanologi erupsi Anak Krakatau tersebut.
Hal itu juga yang menjadi sorotan media asing, NBCnews dalam laporannya Ahad (23/12) waktu setempat berjudul ‘Mengapa tsunami menerjang Indonesia tanpa peringatan”.
Direktur Pusat Penelitian Tsunami Universitas California Selatan Costas Synolakis menyebut tsunami yang terjadi di pesisir wilayah Banten dan Lampung tersebut bukanlah tsunami pada umumnya yang terjadi karena aktivitas tektonik atau gempa bumi. Tsunami kali ini terjadi etapi karena aktivitas vulkanik.
Sementara sebagian besar tsunami didahului aktivitas seismik yang memungkinkan untuk dilakukan beberapa peringatan. Namun sayangnya, para ahli menyebut rangkaian faktor menyebabkan dampak bencana terjadi saat tsunami melanda.
Tsunami yang terjadi antara pulau Jawa dan Sumatera itu diketahui disebabkan Anak Gunung Krakatau yang telah aktif sejak Juni. Setidaknya ada dua teori yang menyebabkan letusan memicu tsunami, pertama, yakni tanah longsor di bawah air atau semburan lava cair yang menyebabkan perpindahan. Namun para ahli mengatakan kemungkinan bersar gelombang dipicu oleh tanah longsor.
“Ini bukan tsunami biasa. Ini adalah tsunami vulkanik, itu tidak memicu adanya peringatan. Jadi dari sudut pandang itu, Pusat Peringatan Tsunami pada dasarnya tidak berguna,” ujar Costas Synolakis.
Synolakis melanjutkan, karena dekatnya Anak Krakatau dengan pantai, tsunami pada Sabtu (23/12) kemarin kemungkinan melanda 20-30 menit setelah terjadi aktivitas volkanologi.
Profesor emeritus ilmu bumi di Universitas Northwestern, Emile Okal menyebut gunung berapi adalah sesuatu yang terus hidup. “Ini adalah sesuatu yang secara geologis tidak dalam kondisi stabil kapanpun,” ujar Emile, yang telah mempelajari tsunami selama 35 tahun.
Menurutnya, aktivitas gunung akan menjadi tanah longsor, dan jika gunung berapi tersebut berada di bawah iar maka akan menggusur air dan membuat gelombang. Okal mengatakan untuk mendeteksi tsunami dengan benar, maka Indonesia perlu menghabiskan sekitar satu miliar dolar untuk teknologi dan tenaga sepanjang waktu di sepanjang wilayah pesisirnya. Menurutnya, bahkan pada saat itu bukan jaminan bahwa peringatan akan datang pada waktunya.
Namun kata dia, fakta bahwa tsunami disebabkan oleh gunung berapi dan bukan gempa bumi sebagai satu-satunya alasan, hal itu sangat mematikan. “Sangat buruk bahwa ini terjadi pada malam hari, tampaknya, untuk menambah pada cedera, ini terjadi saat air pasang. Semuanya sama, bahayanya akan meningkat,” kata Okal.
Ini bukan pertama kalinya Anak Krakatau menyebabkan kerusakan di Indonesia, menurut Synolakis. Pada tahun 1883, gunung berapi itu menghancurkan wilayah yang sama selama masa aktivitas gunung berapi.
“Itu tidak diharapkan tetapi tidak terduga untuk terjadi letusan yang dapat menciptakan longsoran dengan cara yang sama yang dipicu 175 tahun yang lalu,” katanya.
Synolakis juga menanggapi pernyataan salah satu pendiri Pusat Penelitian Tsunami Indonesia, Gegar Prasetya, yang mengatakan tsunami tidak terlalu besar. Namun masalahnya adalah orang selalu cenderung membangun dekat dengan garis pantai
Synolakis mengatakan itu tidak realistis untuk mengharapkan semua orang meninggalkan pantai, namun ia menekankan bahwa mereka yang berada di daerah berisiko tinggi harus menyadari potensi serius untuk bencana.
“Jika Anda berada di pantai – di mana Anda seharusnya berada, nikmati pantai, tetapi jika Anda melihat sesuatu yang aneh, gemetar atau perilaku aneh, lari saja,” katanya. (*)