Jakarta – Penemuan ribuan keping e-KTP yang tergeletak di semak-semak di daerah Duren Sawit, Pondok Kopi, Jakarta Timur dan Kota Pariaman Sumatera Barat telah menjadi sorotan publik.
Belum usai kasus jual beli blanko KTP elektronik secara daring, publik kembali dikejutkan dengan penemuan ribuan keping di Duren Sawit dan Kota Pariaman.
Penemuan KTP tercecer belakangan ini bukan pertama kali terjadi karena sebelumnya juga ditemukan ribuan keping KTP elektronik di Jalan Tajur, Kabupaten Bogor.
Penemuan KTP elektronik di Duren Sawit agaknya dapat dianggap sebagai KTP yang sudah kedaluwarsa dari sisi tanggal. Namun, berdasarkan UU Administrasi Kependudukan, KTP elektronik sekarang berlaku seumur hidup. Artinya, KTP elektronik yang ditemukan itu masih aktif.
Diketahui, KTP elektronik merupakan instrumen atau salah satu syarat bagi pemilih untuk bisa menunaikan hak pilihnya di pemilihan serentak nanti yang akan menggabungkan pemilu legislatif dan pemilihan presiden dalam satu waktu.
Maka, wajar ada kekhwatiran, KTP elektronik akan dijadikan alat kecurangan di pesta demokrasi tahun 2019.
Ketua Seknas Prabowo-Sandiaga, Muhammad Taufik mengaku khawatir dengan persoalan KTP elektronik belakangan ini karena KTP elektronik merupakan salah satu syarat pencoblosan Pemilu 2019.
Karena bila disalahgunakan akan merusak pesta demokrasi yang harusnya berjalan jujur, adil, bebas dan rahasia.
“Kejadian itu memicu kecurigaan publik terkait potensi kecurangan yang terjadi pada Pemilu 2019,” kata Taufik saat membuka Diskusi Publik Selasa-an Topic of the Week bertema “Pilpres 2019 Jujur dan Adil, Ilusi atau Harapan?” di Kantor Seknas Prabowo-Sandiaga, Menteng, Jakarta, Selasa (11/12).
Menurut Taufik, persoalan KTP elektronik menimbulkan kecurigaan karena dalam satu tahun ada tiga peristiwa menarik.
“Jatuh dari truk di Bogor, dijual daring, ada penggandaan di Pasar pramuka. Pemilu itu harus berjalan demokratis, jujur dan adil. Enggak boleh sedikit pun ada kecurangan. Niat curang bolehlah, tapi jangan dilaksanakan. Saya kira janganlah. Kita mesti jaga ini,” tuturnya.
Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin, berpendapat, persoalan KTP elektronik belakangan ini bisa menjadi virus yang membahayakan pelaksanaan Pemilu 2019.
“Persoalan KTP elektronik ini kan sudah sangat kronis. Ini sudah menjadi virus yang membahayakan Pemilu,” kata dia, di Jakarta, Senin (10/12).
Selain sudah berulangkali terjadi penemuan KTP elektronik yang tercecer, hasil investigasi suatu lembaga juga mengonfirmasi bahwa KTP elektronik “aspal” begitu mudah dibuat.
Persoalan KTP elektronik ini sudah bukan lagi sekedar urusan administratif pemerintah dan tidak pula cukup ditangani oleh institusi penegak hukum.
“Isu ini sudah menjadi isu politik, sebab undang-undang telah menentukan KTP elektronik sebagai syarat bagi pemilih untuk memberikan suaranya di TPS,” katanya.
Artinya, problem KTP elektronik dapat membuka peluang terjadinya pelanggaran dan kecurangan yang bisa berujung pada Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.
Bahkan, jika Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan PHPU tidak memuaskan pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat persoalan KTP elektronik. Ini bisa memantik munculnya huru-hara.
“Jadi, jangan anggap sepele isu ini. Jangan dibiarkan menjadi api dalam sekam. Kita tentu tidak menginginkan terjadinya kekacauan Pemilu,” kata Said.
Tercecernya KTP elektronik di Duren Sawit dan Kota Pariaman tengah disedliki oleh aparat kepolisian setempat. Kemendagri pun menegaskan, kasus jual beli blanko KTP elektronik merupakan murni tindak pidana.
Kemendagri juga menyampaikan bahwa blangko KTP-el yang diperdagangkan tidak bisa digunakan layaknya kartu identitas asli. Sebab, KTP-el hanya dapat dicetak oleh jajaran Dukcapil yang memiliki mesin cetak khusus yang sudah di program serta memiliki hak akses database kependudukan.
Motif Politik
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengungkapkan ada indikasi motif politik dibalik tercecernya KTP elektronik di wilayah Duren Sawit, Jakarta Timur.
“Ya kalau saya melihat indikasinya ada unsur di sana (kepentingan politik) walau itu KTP-E sudah kedaluwarsa,” kata Tjahjo seusai menghadiri Rakornas Bawaslu di Ancol, Jakarta, Senin (11/12).
Meskipun menduga ada indikasi tersebut, namun Kemendagri masih menunggu hasil penyidikan tuntas oleh Kepolisian.
Dari sejumlah peristiwa terkait KTP elektronik belakangan ini, mulai dari penjualan blanko hingga KTP elektronik kedaluwarsa yang tercecer, hanya penjualan blanko yang menjadi masalah prinsip.
Namun dari seluruh peristiwa itu, tidak sampai mengganggu sistem. “Sistem dipastikan aman,” jelas dia.
Dia mengatakan, karena tidak sampai mengganggu sistem, kemungkinan besar peristiwa tercecernya KTP-elektronik hanya untuk membuat gaduh suasana di tahun politik.
Secara ketentuan, setiap KTP elektronik yang rusak atau kedaluwarsa wajib digunting. “Harusnya digunting. Ini kok belum digunting dicecer, terus ‘nyecernya’ kok di sawah, yang menarik itu aja,” kata dia.
Tjahjo menduga oknum yang membuat KTP elektronik tercecer merupakan orang dalam sebab mustahil pencuri bisa memperoleh KTP elektronik dalam jumlah banyak.
Pemilu berlangsung Jurdil
Kemendagri pun meyakini Pemilu serentak yang berlangsung pada 17 April 2019 berjalan Langsung, umum, rahasia (Luber) dan jujur serta adil (Jurdil).
“Kita sangat yakin bahwa pemilu 2019 akan berlangsung Luber dan Jurdil. Ini tidak bisa tidak bisa ditawar dan merupakan perintah konsitusi dan UU Pemilu,” kata Kapuspen Kemendagri, Bahtiar dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Kamis.
Masalah KTP elektronik belakangan ini dianggap tidak ada hubungannya dengan daftar pemilih tetap (DPT) pemilu. Karena hal itu merupakan otoritas KPU dan penyelenggara pemilu.
“Kemendagri hanya memberikan DP4 sesuai amanat UU No 7 Tahun 2017 tentang pemilu. Kemendagri sudah serahkan DP4 kepada KPU pada Desember 2017,” katanya.
Jadi, masalah KTP elektronik hari sama sekali tidak ada hubungannya dgn DPT Pemilu dan kami tidak punya hak untuk mencampuri kewenamgan KPU. Tugas pemerintah dan pemda sesuai UU hanya membantu saja. Yang tentukan DPT dan tahapan pemilu sepenuhmya wewenang penylenggara pemilu, jelas Bahtiar. (ant)