Serang – Oktober menjadi bulan yang spesial untuk Banten. Di bulan ini, pada 4 Oktober 2000, Banten resmi memisahkan diri dari Jawa Barat.
Dorongan agar menjadi daerah otonomi muncul sejak 1950 dan Orde Baru. Tapi perjuangan itu selalu gagal. Pascareformasi, barulah Banten menemukan momentum pemisahan diri dari Jawa Barat.
Ada tiga hal kenapa daerah ini ingin berpisah dari Jawa Barat. Pertama, akibat ketertinggalan pembangunan, kemiskinan, dan keterbelakangan pendidikan. Dibanding daerah lain di Jawa Barat, muncul disparitas menonjol, khususnya di daerah, seperti Pandeglang, Serang, dan Lebak.
“Banten tertinggal jauh dengan Jawa Barat (waktu itu). Sehingga menginginkan berpisah karena ada disparitas dan keberpihakan Jabar terhadap Banten kurang,” kata peneliti LIPI sekaligus Ketua ICMI Banten, Lili Romli, Serang, Banten, Rabu (3/10/2018).
Tapi, kata Lili, setelah provinsi ini terbentuk, tidak serta-merta Banten menjadi daerah maju. Faktanya, IPM (indeks pembangunan manusia), khususnya di Pandeglang-Lebak, masih rendah. Termasuk kemiskinan dan infrastruktur yang masih kurang merata.
Di samping itu, kasus korupsi yang melekat di daerah ini. Itu dibuktikan dengan pernah ditangkapnya Gubernur Banten menjadi pesakitan KPK setelah resmi menjadi provinsi.
“Persoalan jadi provinsi, iya. Tapi cita-cita menghilangkan itu (kemiskinan, infrastruktur, keterbelakangan) belum terwujud. Persoalan itu belum seluruhnya terjawab,” ujarnya.
Salah satu aktor pembentukan Banten, Embay Mulya Syarief, membenarkan tujuan pembentukan daerah ini adalah menghilangkan disparitas dengan Jawa Barat. Ada dorongan agar ada percepatan kesejahteraan bagi daerah yang lekat dengan sejarah Kesultanan Banten ini.
Tapi ia mengakui cita-cita tersebut belum sepenuhnya terwujud. Setelah terbentuk, daerah ini lekat dengan penyimpangan, juga kemiskinan.
“Kemiskinan berhasil diturunkan ke anak-cucu. Korupsi juga naik karena sudut pandang kepada materi. Pemprov harus melakukan pembentukan karakter ASN (aparatur sipil negara),” ujarnya. (bri/asp/dtk)