Jakarta – Mahkamah Konstitusi melalui putusannya bernomor 30/PUU-XVI/2018 menegaskan bahwa anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sejak Pemilu 2019 dan setelahnya tidak boleh diisi oleh pengurus partai politik.
Sejak putusan dalam sidang terbuka untuk umum tersebut selesai diucapkan, maka sejak saat itulah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku.
Lantas bagaimana dengan pengurus partai politik yang saat ini masih menjabat sebagai anggota DPD? Dalam pertimbangan putusan tersebut, MK mengakui bahwa ketentuan Pasal 182 Huruf l Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak tegas melarang anggota partai politik menjabat sebagai anggota DPD, meskipun putusan MK sebelumnya tetap menyebutkan bahwa anggota DPD tidak boleh diisi oleh anggota partai politik.
Namun, sejalan dengan sifat prospektif putusan MK, maka putusan ini tidak berlaku terhadap yang bersangkutan (anggota DPD yang merupakan anggota partai politik) kecuali yang bersangkutan mencalonkan diri kembali sebagai anggota DPD setelah putusan ini berlaku sesuai dengan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Sementara itu, terkait dengan anggota partai politik yang sudah mendaftarkan diri sebagai anggota DPD ke KPU, Mahkamah Konstitusi meminta KPU untuk memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk tetap mencalonkan diri sebagai anggota DPD dengan syarat sudah menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan partai politik.
Putusan yang terkait dengan urusan politik ini memang cukup menimbulkan banyak perdebatan.
Bagi para calon yang merupakan pengurus partai, putusan ini tentu sangat merugikan, karena mereka harus memilih satu dari dua jabatan, yaitu menjadi pengurus partai politik atau menjadi calon senator.
Salah satu pihak yang cukup menentang putusan ini adalah Ketua DPD RI Oesman Sapta Odang.
Berikan Pendapat
Dalam sebuah acara yang disiarkan secara langsung di salah satu stasiun televisi swasta nasional, Oesman memberikan pendapatnya dan sempat mengeluarkan umpatan yang ditujukan kepada MK karena putusan MK terkait larangan caleg DPD dari partai politik.
Atas tindakan Oesman tersebut, MK kemudian melayangkan surat keberatan kepada Oesman terkait dengan ucapan Oesman yang dinilai telah merendahkan martabat MK.
“Atas tindakan itu MK telah melayangkan surat keberatan yang sudah diterima oleh Bapak Oesman,” ujar Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah.
Guntur menjelaskan langkah tersebut diambil berdasarkan rapat para hakim konstitusi pada Senin (30/7), setelah mendengarkan rekaman dari acara tersebut.
Mahkamah Konstitusi merasa kata-kata yang diucapkan oleh Oesman dapat dikategorikan memiliki tendensi negatif yang merendahkan MK, baik secara kelembagaan, individu Hakim Konstitusi, maupun terhadap putusan MK.
“Kami akan menunggu respons dari beliau, dan selanjutnya (tindakan MK, red.) juga tergantung respons dari beliau,” ujar dia.
Pihak Oesman kemudian memberikan jawaban cepat atas surat keberatan tersebut, karena jawaban atas surat keberatan tersebut sudah diterima MK kurang dari 24 jam.
Juru bicara MK Fajar Laksono menjelaskan surat itu berisi penjelasan Oesman bahwa ucapan tersebut merupakan respons cepat, tanpa bermaksud merendahkan martabat kehormatan MK.
Dalam surat jawaban tersebut terdapat enam poin yang pada pokoknya menyebutkan bahwa Oesman mendukung terbitnya putusan MK dan menjelaskan bahwa ucapannya di satu stasiun televisi swasta nasional tersebut merupakan bentuk respons cepat atas putusan MK tesebut.
Fajar mengungkapkan dalam surat jawaban tersebut Oesman menyatakan pihaknya merasa putusan MK terkait larangan anggota DPD dari partai politik tidak memberi keadilan bagi para caleg yang berasal dari partai politik.
“Menurut beliau putusan MK itu justru melanggar hak konstitusional anggota DPD yang berasal dari parpol dan beliau prihatin akan hal itu,” kata Fajar.
Jawaban Oesman menyiratkan adanya kontradiksi di dalam respons tersebut, di mana satu sisi Oesman menyatakan mendukung putusan MK, namun di sisi lain Oesman menilai putusan tersebut tidak memberikan keadilan dan melanggar hak konstitusional anggota DPD yang berasal dari partai politik.
Lebih Teliti
Berdasarkan putusan MK tersebut, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) kemudian meminta KPU RI supaya lebih teliti dalam menelusuri latar belakang bakal calon anggota DPD RI.
Bila terdapat calon yang merupakan pengurus partai politik, KPU dapat segera menyurati yang bersangkutan untuk segera memilih tetap menjadi calon anggota DPD tetapi mundur sebagai pengurus parpol atau memilih tetap menjadi pengurus parpol akan tetapi mengundurkan diri menjadi calon anggota DPD.
Dalam sebuah diskusi, salah satu peneliti Perludem, Fadli Ramadanil, mengatakan putusan MK menjadi dasar instrumen bagi KPU untuk bertindak tegas dengan memberikan dua pilihan tersebut bagi calon anggota DPD RI yang berlatar belakang pengurus partai poltik.
“Penting memikirkan dan mengedepankan kepentingan publik daripada memikirkan kepentingan taktis partai politik,” kata dia.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menyatakan segera melaksanakan putusan MK tersebut dengan meminta bakal calon anggota DPD RI yang juga seorang pengurus partai politik untuk segera menyerahkan surat pengunduran diri ke KPU, sebelum tahapan daftar calon tetap dilakukan. (ant/*)