Kesehatan – Sebagai orang tua, sangat wajar bila Anda ingin berbagi momen kehidupan anak melalui beragam konten yang diunggah di media sosial. Fenomena ini dikenal dengan perilaku sharenting. Namun, pernahkah terpikir bahwa konten baik foto maupun video anak yang diunggah dapat memengaruhi kehidupan Anda dan si Kecil? Jika belum, yuk kenali dulu baik buruknya.
Berdasarkan hasil survei, 85 persen ibu dan 70 persen ayah yang aktif di media sosial mengunggah konten terkait kehidupan dan perkembangan anak mereka. Perilaku sharenting ini bisanya berisi momen-momen penting anak, seperti saat tumbuh gigi pertama, mulai berjalan, hari pertama sekolah, atau aktivitas sehari-hari seperti saat ia tidur atau bangun tidur, makan, dan bermain.
Perilaku sharenting mencerminkan rasa bangga terhadap pencapaian anak, misalnya saat anak berhasil memenangkan sebuah kompetisi atau mahir memainkan suatu instrumen musik pada usia dini. Secara tersirat, ini pun menjadi justifikasi bagi orang tua akan pola asuh yang berhasil diterapkannya.
Meski tampak sepele karena pada dasarnya Anda hidup di era digital, sharenting bisa menjadi pedang bermata dua. Ada sisi posisif dan negatif yang patut Anda ketahui.
Sharenting sebagai media untuk berbagi
Dalam suatu studi, hampir 70 persen orang tua menyatakan bahwa media sosial digunakan untuk mendapatkan nasihat dari orang tua lain yang dianggap lebih berpengalaman. Sekitar 62 persennya mengatakan bahwa ini membuat mereka menjadi tidak terlalu khawatir akan kondisi anak mereka.
Studi tersebut menjadi dasar bahwa sharenting memungkinkan sesama orang tua saling berbagi, bertukar tips, nasihat, serta meyakinkan satu sama lain bahwa mereka tidak sendiri. Sebagai contoh, Anda bisa mendapatkan informasi dari pengalaman orang tua lain tentang cara mengatasi batita yang sedang suka melawan. Ternyata ini merupakan hal normal yang dialami oleh semua batita. Pada akhirnya, Anda tidak merasa sendirian karena toh semua orang tua mengalami fase tersebut.
Orang tua merasa tertekan
Di sisi lain, sharenting memiliki dampak negatif yang tak sedikit, yang bisa jadi selama ini tak Anda sadari. Baik orang tua maupun anak bisa mengalami dampak negatif dari sharenting ini.
Banyaknya foto, video, serta rangkaian cerita atau caption dari orang tua lain yang menceritakan tentang pencapaian anak mereka, bisa saja membuat Anda merasa tertekan dan menganggap si Kecil tidak sebaik teman-teman sebayanya. Ini dapat membuat Anda cenderung membanding-bandingkan dan selalu merasa kurang akan pencapaian anak Anda sendiri. Selain itu, bisa juga secara sosial Anda merasa dituntut untuk membuat anak mampu bersaing atau bahkan mengungguli teman-temannya. Dalam jangka panjang, ini akan membuat Anda lelah secara fisik dan psikologis.
Anak merasa terganggu
Sharenting dapat membuat kehidupan anak terganggu, baik di dunia maya maupun kehidupan nyata. Setiap kali Anda berbagi foto, cerita, atau sekadar “status” di media sosial tentang anak, Anda semakin menambahkan identitas online mereka.
Saat anak sudah cukup besar untuk mengelola identitasnya sendiri di jejaring sosial, yakni sekitar usia 13 tahun ke atas, ia bisa melihat ratusan, bahkan ribuan konten yang mendefinisikan diri mereka. Identitas anak yang dibentuk di dunia maya ini bisa jadi berbeda dari kenyataan, dalam arti bisa jadi orang lain sudah terlanjur menilai anak seperti apa yang terlihat di dunia maya.
Di samping itu, ada beberapa konten yang mungkin menurut orang tua lucu menggemaskan, tapi justru dianggap anak memalukan atau terlalu bersifat pribadi. Hal ini bisa membuat anak menjadi bahan ejekan atau bahkan mengalami perundungan (bullying) di sekolah. Ingat, jejak digital anak tak bisa dihapus semudah menekan tombol “unggah”.
Sharenting juga bisa menjadi sumber konflik antara orang tua dan anak, khususnya anak yang usianya lebih besar atau sudah bersekolah karena merasa privasinya terganggu. Children’s Comissioner for England melaporkan berbagai alasan anak-anak usia 8-12 tahun yang merasa terganggu saat orang tua mengunggah foto-foto mereka di media sosial.
Ada tiga alasan utama, yakni karena terlalu banyak orang yang melihat diri mereka, tidak suka dengan foto atau video mereka, atau tidak suka dipaksa orang tua saat mereka merasa keberatan.
Hal yang paling berbahaya dari sharenting
Tak hanya berhenti sampai di situ, berbagai konten dari sharenting ini bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pernah dengar fenomena penculikan digital (digital kidnapping)? Orang-orang yang tak dikenal bisa saja mencuri foto-foto online si Kecil dan membagikan ulang pada laman media sosial mereka serta mengklaimnya sebagai anak mereka sendiri.
Skenario terburuk adalah adanya ancaman yang mengintai dari para pedofil. Biasanya mereka akan mengunduh foto si Kecil lalu mengunggahnya ke situs website pornografi yang melibatkan anak-anak atau grup di dunia maya. Kasus ini sudah pernah terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu (ingat grup Loli Candy’s?). Inilah kenapa Anda sebagai orang tua harus benar-benar waspada dengan efek buruk dari perilaku sharenting.
Jadi terkait sharenting, to share or not to share? Cuma Anda sendiri yang mampu menjawabnya. Bijaklah dalam memilih konten yang akan diunggah. Pikirkan masak-masak alasan Anda membagikan foto, video, atau cerita tentangnya. Pertimbangkan pula perasaan anak tentang hal itu. Bila anak sudah cukup besar, jangan merasa enggan untuk meminta izin. Biarkan anak mengungkapkan pendapatnya mengenai konten yang ingin Anda unggah di media sosial. Dengan cara ini, si Kecil pun diajar untuk memikirkan identitas online dirinya serta bagaimana menggunakan media sosial secara positif. (rn/rvs)
Sumber: Klik Dokter