Jakarta – Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan kedudukan kejaksaan dalam konstitusi masih perlu diperjelas posisi dan tempatnya dalam tatanan ketatanegaraan Republik Indonesia.
Secara konstitusional satu-satunya pernyataan yang dapat dijadikan sebagai dasar acuan hanyalah ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD RI Tahun 1945, namun ironisnya juga tidak menyebutkan secara eksplisit tentang Institusi “Kejaksaan RI” secara tegas dan jelas, katanya dalam Hari Ulang Tahun Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) tahun 2018 di Jakarta, Jum’at (29/6/2018).
Hal itu disampaikan menanggapi tema HUT PJI, “Menjaga Harkat dan Martabat Profesi Untuk Memperkuat Konstitusional Institusi Kejaksaan”. Dikatakannya, tema yang kontekstual dan relevan mengingat kedudukan Kejaksaan dalam konstitusi yang masih perlu diperjelas posisi dan tempatnya dalam tatanan ketatanegaraan kita.
Ia menambahkan bahwa penyebutan yang hanya dapat ditafsirkan secara implisit sudah barang tentu dirasakan sangat tidak cukup memberi landasan kuat bagi Lembaga Kejaksaan untuk dapat menjalankan tugas, fungsi dan peran yang begitu signifikan dalam proses penegakan hukum yang tidak kalah pentingnya dengan penegak hukum lain.
“Kenyataan seperti itu setidaknya telah membawa pengaruh yang tidak sejalan dengan betapa luas, kompleks dan beragamnya tugas, fungsi dan peran yang diemban oleh Kejaksaan dan karenanya telah menempatkannya dalam sebuah ambiguitas, sebab di satu sisi menjadi bagian dari pelaksana kekuasaan kehakiman dalam ranah yudikatif.”
Sementara di saat bersamaan diberikan tugas dan kewenangan lain berdasarkan undang-undang, turut menyelenggarakan ketertiban dan ketenteraman umum, serta tanggung jawab mewakili negara dan pemerintah baik di dalam maupun di luar pengadilan, dalam lingkup kekuasaan eksekutif, katanya.
Kejaksaan yang seharusnya merupakan organ negara utama, “main states organ” selama ini menjadi seolah ditempatkan hanya sebagai lembaga yang dianggap tidak penting, yang tidak perlu dinyatakan dan diberi tempat serta kedudukan tersendiri.
Sementara itu lembaga-lembaga penunjang, “auxiliary state organs” yang fungsi sesungguhnya sebatas sebagai pelengkap organ utama negara, justru mendapat perhatian dan diatur secara jelas dalam konstitusi.
“Berkenaan hal tersebut, saya ulang tegaskan di sini agar hendaknya organisasi PJI mampu menjadi motor penggerak yang terus aktif menggulirkan semangat perjuangan terwujudnya ruang pengaturan peran, posisi dan kedudukan yang tegas, eksplisit dan jelas bagi Kejaksaan dalam susunan ketatanegaraan, sesuai harapan kita bersama,” katanya.
Di bagian lain, dirinya sebagai Pelindung Organisasi saya juga menyampaikan apresiasi atas kinerja PJI yang semakin memberikan kontribusi positif bagi institusi dengan secara aktif memberikan masukan dan saran berkenaan adanya aturan hukum yang kadangkala cenderung berpotensi mengusik dan menganggu independensi serta harkat martabat profesi Jaksa.
Seperti halnya keberhasilan PJI mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi RI terhadap Pasal 99 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang secara nyata tidak sejalan dan bertentangan dengan prinsip kemandirian Jaksa sebagai pejabat khusus, yang bila dibiarkan akan dapat menimbulkan ekses negatif berupa keraguan dan kekhawatiran dalam menjalankan proses hukum perkara anak, paparnya.
Karenanya sangat disyukuri permohonan tersebut telah dikabulkan. Merupakan sesuatu yang sangat bermakna dan diperlukan oleh para Jaksa agar merasa lebih nyaman dan tenang dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Di samping itu, putusan MK tersebut sekaligus merupakan sebuah peristiwa dan kenyataan penting yang semakin memperkokoh sandaran dan eksistensi PJI, sebagai sebuah organisasi profesi para Jaksa karena telah mendapatkan legal standing dari badan peradilan, dianggap memenuhi persyaratan dan hak untuk dapat mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan, sengketa maupun perkara di depan Mahkamah Konstitusi. (ant)