Jakarta – Putusan praperadilan oleh hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan soal gugatan atas kasus pemberian persetujuan penetapan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada PT Bank Century menuai kritik.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia Petrus Selestinus menganggap putusan tersebut telah mengintervensi kewenangan KPK untuk menghentikan penyelidikan atau melanjutkannya ke penyidikan.
“Putusan Praperadilan Hakim Effendi Muktar, secara tidak langsung telah mengintervensi wewenang Penyidik seluruh instansi penyidik termasuk KPK yang oleh UU diberi wewenang berdasarkan pertimbangan subyektif untuk menentukan seseorang menjadi tersangka atau tidak,” ujar Petrus melalui keterangan tertulis, Rabu (11/4/2018).
KUHAP secara limitatif memberi wewenang sepenuhnya kepada Penyidik untuk mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan dan menetapkan seseorang sebagai tersangka. Tentunya berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan serta harus didukung dengan sekurang-kuranya dua alat bukti.
Keberadaan minimal dua alat bukti sebagai syarat menetapkan tersangka, oleh Undang-Undang KUHAP dan UU KPK, hanya diberikan kepada Penyelidik dan Penyidik di Kepolisian, Kejaksaan, KPK.
“Sama sekali tidak kepada Hakim Praperadilan,” kata Petrus.
Petrus menilai, putusan yang dikeluarkan melampaui kewenangan hakim praperadilan. Hakim, kata dia, bukan penyelidik ataupun penyidik yang berwenang menentukan seseorang menjadi tersangka atau tidak.
Adanya perintah terhadap penegak hukum untuk menetapkan mantan Gubernur Bank Indonesia dan kawan-kawan sebagai tersangka dianggap penyalahgunaan wewenang secara berlebihan.
“Hakim telah bertindak melampaui wewenang dengan memperluas sendiri wewenangnya. bahkan mengambilalih wewenang Ketua Mahkamah Agung terkait upayanya menciptakan Hukum Acara guna memperluas wewenang Praperadilan,” kata Petrus.
Petrus meminta Mahkamah Agung merespons putusan tersebut. Jika Hakim Effendi menganggap ada kekosongan hukum untuk mengontrol Penyidik KPK, maka hanya boleh diatasi dengan menciptakan hukum baru yaitu dengan UU atau dilakukan melalui Peraturan Mahkamah Agung berdasarkan ketentuan pasal 79 UU Mahkamah Agung.
Sebelumnya diberitakan, dalam amar putusan, hakim memerintahkan KPK selaku termohon menetapkan mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono beserta pihak-pihak lainnya sebagai tersangka. Adapun nama-nama yang disertakan bersama Boediono yakni Muliaman D Hadad, Raden Pardede, dan kawan kawan sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan atas nama terdakwa Budi Mulya.
Humas PN Jakarta Selatan Achmad Guntur mengatakan, proses selanjutnya tidak harus dilakukan oleh KPK. Bisa saja kasus itu dilimpahkan ke polisi maupun kejaksaan untuk selanjutnya diproses di pengadilan Tipikor Jakarta.
“Nanti akan disampaikan, terserah KPK menyikapi putusan itu,” kata Achmad.
KPK sebelumnya telah mengeksekusi mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya yang dihukum 15 tahun penjara dalam kasus ini. Berdasarkan kasasi yang diajukan JPU, pemberian persetujuan penetapan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada PT Bank Century Tbk oleh Budi Mulya dilakukan dengan itikad tidak baik.
Budi dianggap melawan hukum karena menyebabkan kerugian keuangan negara sejak penyetoran Penyertaan Modal Sementara (PMS) sejak 24 November 2008 hingga Desember 2013 sebesar jumlahnya Rp 8,012 triliun.
Dalam dakwaan Budi, disebutkan juga sejumlah pihak yang turut bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi, namun belum ditindaklanjuti hingga kini.
Sejumlah nama tersebut yaitu Boediono selaku Gubernur BI, Miranda Swaray Goeltom selaku Deputi Gubernur Senior BI, Siti Chalimah Fadrijah selaku Deputi Gubernur Bidang VI Pengawasan Bank Umum dan Bank Syariah, Budi Rochadi selaku Deputi Gubernur Bidang VII Sistem Pembayaran, Pengedaran Uang, BPR, dan Perkreditan. Namun, Siti Fadjriah dan Budi Rochadi telah meninggal dunia.(Kmp)