Jakarta – Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla menyebut permintaan Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Asia Tenggara PBB (OHCHR) agar Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dibebaskan dari penjara, belum tentu merupakan sikap resmi lembaga.
Dia menilai sikap yang muncul di jejaring sosial OHCHR mungkin saja merupakan penjelasan dari orang-orang yang ada dan bukan sikap secara keseluruhan. Pasalnya, untuk bisa mengambil sikap resmi harus melalui paripurna seperti yang dilakukan di Indonesia.
“Saya yakin bukan [sikap resmi] PBB, mungkin orang-orang yang ada. Tak boleh ada keputusan satu orang mengatasnamakan PBB, karena harus paripurna,” kata Jusuf Kalla saat ditemui di rumah dinas Wakil Presiden, Selasa (23/5/2017).
Kalla menganggap sikap yang dikeluarkan OHCHR tersebut sama seperti pernyataan satu orang anggota DPR, yang belum tentu mewakili lembaga secara resmi.
Selain itu, Kalla meminta agar PBB tak mencampuri urusan hukum di Indonesia. Tak hanya PBB, Kalla menyebut pihak asing lain pun tak selayaknya melakukan hal itu, karena Indonesia juga tidak pernah mencampuri masalah hukum di negara lain.
Dia beranggapan jika orang-orang dibebaskan mengomentari masalah hukum negara lain maka, ladang pertentangan akan terbuka lebar dan bisa merusak hubungan di masa depan.
“Jika orang sudah boleh saling mencampuri urusan hukum negara lain maka dunia bisa jadi ladang pertentangan,” katanya.
Sebelumnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui OHCHR, mendesak pemerintah Indonesia segera membebaskan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang mendekam di penjara setelah divonis dua tahun atas kasus penistaan agama.
“Kami mendesak Pemerintah [Indonesia] membatalkan hukuman atas Purnama [Ahok] dalam pengadilan banding atau memberikan dia bentuk pengampunan apa pun yang memungkinkan dalam hukum Indonesia sehingga dia dapat bebas dari penjara secepatnya,” demikian pernyataan para ahli hak asasi manusia PBB.
Dalam pernyataan di laman Facebook pada Senin (22/5) tersebut, Kantor Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Asia Tenggara PBB (OHCHR) menjabarkan pernyataan dari para ahli yang terdiri dari tiga Pelapor Khusus, yaitu untuk kebebasan beragama, Ahmed Shaheed; untuk kebebasan berpendapat, David Kaye; dan Ahli Independen untuk penyebaran perintah internasional yang adil dan demokratis, Alfred de Zayas.
Menurut mereka, hukum pidana terkait penistaan agama seperti ini menunjukkan larangan yang tidak layak atas kebebasan berekspresi, juga menarget penganut kepercayaan minoritas atau lawan politik. (les/cnn)