Iptek – Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Samuel Abrijani Pangerapan mengatakan sampai Desember 2016 sudah ada 800 ribu situs yang diblokir oleh pemerintah. Mayoritas situs yang ditutup memuat konten berisikan pornografi dan judi. Beberapa di antaranya menyebarkan berita bohong (hoax).
“90 persen pornografi, ada beberapa untuk yang (situs penyebar) hoax,” kata Samuel dalam diskusi di Cikini, Jakarta, Sabtu, 7 Januari 2017. Ia mempersilakan masyarakat untuk mengakses http://trustpositif.kominfo.go.id untuk mengetahui data rincinya.
Samuel menjelaskan pemblokiran itu mengacu pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014. Sebelum memblokir, tim dari Kemenkominfo menganalisa terlebih dahulu konten yang dilaporkan masyarakat. “Setelah itu, baru kami tertibkan,” tuturnya.
Ia menampik anggapan pemerintah terlalu ketat mengawasi dunia maya. Semenjak Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disahkan, pemblokiran berbagai macam situs sudah dimulai.
Menurut dia, bila pemerintah cuek terhadap situs-situs penyebar berita bohong, makan bisa berpotensi terjadi kekacauan di masyarakat. Pemblokiran, kata Samuel, masih sebatas tahap peringatan. “Karena penyebar-penyebar hoax ini sudah seharusnya diproses hukum,” ujarnya.
Pemblokiran situs dianggap sebagai upaya pembelajaran bagi para pemilik situs yang diduga menyebarkan hoax. Pengelola bisa mengajukan pemulihan (normalisasi) untuk membuka blokir terhadap situsnya.
Samuel berujar selama ini Kemenkominfo tidak pernah memblokir media jurnalistik. Situs-situs yang diblokir, kata Samuel, mengklaim sebagai produk jurnalistik, namun sejatinya bukan.
Samuel menuturkan produk jurnalistik terikat dengan undang-undang dan kaidah pers. Bila para pemilik situs yang telah diblokir ingin diakui sebagai produk jurnalistik, ia meminta untuk mengikuti kaidah dan Undang-Undang tentang Pers. “Jangan mengklaim ini produk jurnalistik,” ujarnya.
Anggota Dewan Pers Imam Wahyudi mengatakan, pascarevolusi digital, banyak bermunculan situs-situs yang mirip seperti pers. Produknya dinamakan berita dan memiliki struktur kepengurusan.
Menurut Imam, bila ingin disebut pers, maka harus mengacu pada UU Pers, kode etik, standar dan prinsip jurnalistik. “Dalam kaitan media yang diblokir, apakah kontennya sudah sesuai jurnalistik?” ucapnya.
Selain itu, bila ingin disebut sebagai pers, maka media itu harus terdaftar di Dewan Pers. “Sejauh ini, mereka (situs-situs yang diblokir) tidak terdaftar dalam Dewan Pers,” ujarnya. (TMP)