Jakarta|beritaindonesianet.com – Kasus “dana siluman” yang digunakan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok untuk melawan DPRD merupakan wacana politik yang berpotensi menjadi kasus abadi dalam textbook kajian pembangunan maupun psikologi sosial dan organisasi.
Gayanya yang frontal dan blakblakan akan segera diuji oleh sejarah, apakah akan menjadi bumerang atau pisau tajam yang memang diperlukan untuk meruntuhkan groupthink para politikus elite negeri ini.
Rezim totalitarian
Istilah groupthink diperkenalkan Irvin Janis (1918-1988), psikolog dari Universitas Yale. Ia meminjam istilah George Orwell (1903-1950), seorang novelis Inggris yang menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan rezim totalitarian. Dalam pengamatan Janis, orang saling mengikatkan diri satu sama lain, bersatu, karena mempunyai pandangan atau situasi yang lebih kurang sama sehingga kebersamaan mereka menjadi tembok pelindung kepentingan bersama.
Kepentingan tersebut dibangun bukan atas nilai-nilai terpuji atau prestasi, melainkan justru di atas berbagai kesalahan, ketidakmampuan, ketamakan, kekuasaan yang koruptif, dan ancaman atas status quo mereka.
Dalam studinya mengenai rezim-rezim atau kelompok yang membangun groupthink, Janis mengidentifikasi delapan elemen menonjol dari kelompok atau rezim ini. Mereka memiliki illusion of invulnerability, yaitu merasa kelompoknya tidak memiliki celah untuk dijatuhkan. Mereka juga merasa bahwa pikiran dan cara mereka berpikir sudah benar, tidak perlu dikritik, apalagi dibuktikan. Mereka menganggap diri mempunyai standar moral lebih tinggi daripada orang lain.
Mereka memandang rendah anggota out-group. Adanya ancaman yang jelas dan pasti bagi mereka yang mengkhianati kelompok. Dalam norma kelompok terjadi self-sensorship yang sangat kuat. Pandangan kelompok dianggap disetujui secara aklamasi oleh semua anggota. Mereka menghalangi pimpinan mereka dari berbagai informasi yang dapat merusak cara berpikir dan citra yang telah dibentuk.
Dalam mempertahankan groupthink ini ada sikap militan, terutama untuk mempertahankan in-group mereka. Tidak ada toleransi terhadap orang-orang atau kelompok di luar mereka. Kalian bersama kami atau menjadi musuh kami. Sikap ini disertai dorongan kuat untuk menghancurkan musuh bersama mereka dengan segala cara.
Zaman Orde Baru, groupthink merupakan ciri umum dari birokrat dan pimpinan pemerintahan. Setelah reformasi, situasinya terbalik, bentuk-bentuk groupthink menjadi liar, ada di mana pun selama ada ketamakan kekuasaan yang koruptif, termasuk di lembaga perwakilan rakyat yang seharusnya menjadi sumber suara hati nurani. Dalam kasus DKI, pimpinan pemerintah daerah justru harus berhadapan dengan kekuatan politik yang dikristalisasi oleh kepentingan kolusif-koruptif yang seharusnya mendukung kiprah pemda.
Mendobrak “groupthink”
Mampukah Ahok mendobrak groupthink?
Posisi Gubernur DKI dalam berhadapan dengan DPRD sedikit berbeda jika dibandingkan dengan posisi rakyat Indonesia melawan rezim Orde Baru. Saat itu, groupthink ditopang dengan kekuasaan dan kekuatan riil-dalam maupun luar negeri, bersenjata, sistemik, dan berakar.
Hal itu tidak ada pada DPRD DKI saat ini. Kekuatan mereka hanya setengah riil, artinya benar mereka mempunyai kekuatan politik, tetapi ada risiko kekuatan itu bertubrukan dengan kekuatan moral konstituennya (rakyat). Walau praktik seperti ini sudah jadi kebiasaan, masyarakat menunggu kepemimpinan yang berani dan berkomitmen pada rakyat. Tanpa dukungan rakyat, pameran groupthink DPRD DKI bisa jadi hanyalah macan ompong.
Ada dua skenario yang akan menentukan perjuangan melawan groupthink ini. Skenario pertama, perjuangan Ahok akan berhasil jika ada dukungan presiden dan wakil presiden (masing-masing sudah menyatakan dukungan secara terpisah) dan menyerahkan kasus ke ranah hukum. Sistem inilah yang akan membedah elemen groupthink yang disajikan DPRD DKI. Masyarakat akan menjadi sumber legitimasi atas temuan dan pembuktian dana siluman Rp 12,7 triliun.
Unsur kunci dalam skenario pertama adalah Menteri Dalam Negeri, yang berasal dari partai politik pendukung hak angket, tetapi sekaligus anggota kabinet kerja Jokowi. Kementerian Dalam Negeri wajib mengevaluasi secara independen kedua versi budget. Jika anggaran DKI versi Pemprov tidak segera disahkan, hal itu akan menyulut kemarahan rakyat.
Maka, orang berharap Mendagri berani mengesahkan anggaran DKI tanpa tekanan. Proses hukum pun biarkan berjalan terus. Jika ini yang terjadi, kita akan menyaksikan buah-buah manis dari Ahok. Masyarakat yang merasa dibela akan tetap memelihara harapan dan kepercayaan pada pemerintah.
Jika yang terjadi Mendagri menekan Pemprov DKI untuk memperbaiki hubungan dengan DPRD DKI, Mendagri akan menolak pengesahan anggaran di luar prosedur. Peristiwa itu akan memicu skenario kedua, rakyat akan merasakan untuk kesekian kalinya “berada di ruang kosong publik tanpa pemimpin”. Tumbuh apatisme dan perasaan marah yang dapat membabi buta dan berdampak buruk.
Pemerintahan Jokowi lahir dalam kancah perseteruan antara suara dan nalar yang berakal budi dengan nafsu dan ketamakan kekuasaan disertai autodestruct mechanism (mekanisme bunuh diri). Pemerintahan Jokowi harus mengedepankan akal budi dan tidak membiarkan pemerintahan bermisi bunuh diri karena absennya keberanian moral.