CILEGON, beritaindosianet – Vonis bebas dari Pengadilan Negeri (PN) Serang kepada pelaku kekerasan seksual berinisial AN (17 tahun) terhadap gadis di bawah umur M (12 tahun), beberapa waktu lalu, menuai protes dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Banten.
Kasus kekerasan seksual oleh AN (17) terhadap M (12) ini terjadi di Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, yang mulai disidang pada April 2019 lalu, dan putusan hakim membebaskan tersangka AN pada 9 Mei 2019.
Hal itu disampaikan LPA Banten Bidang Pemenuhan Hak Anak, Adi Abdillah Marta, yang menilai putusan PN Serang tidak adil dan akan menjadi preseden buruk sebagai pembiaran bagi anak untuk menjadi pelaku kekerasan seksual.
“Putusan PN Serang sangat tidak memenuhi rasa keadilan bagi anak yang jadi korban, dan diduga akan melegitimasi anak-anak menjadi pelaku kekerasan seksual,” ucap Adi kepada wartawan, Minggu (7/7/2019).
Menurutnya, putusan pengadilan yang memvonis bebas pelaku kekerasan seksual terhadap anak, justru akan menjadi salah satu dasar hukum ketika terjadi kasus serupa di kemudian hari.
“Maka bisa dibayangkan, bagaimana jika kedepan ada kasus serupa? Lalu putusan tersebut dijadikan yurisprudensi,” ujarnya.
Lebih lanjut Adi menerangkan, jika anak berusia 17 tahun yang terbukti menjadi pelaku kekerasan seksual, maka perbuatan tersebut bukan lagi sebagai kenakalan remaja melainkan masuk pada kategori tindakan kriminal remaja.
“Sebagai korban, M (12), akan mendapatkan konsekuensi besar bagi kehidupannya kedepan. Dampaknya bukan hanya pada fisik, tapi juga kepada psikisnya,” papar Adi.
“Bahkan bukan hanya korban, keluarga korban akan juga ikut merasakan hal yang sama meski kadarnya berbeda,” lanjutnya.
Putusan pengadilan yang menyatakan bahwa pelaku A terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah karena membujuk anak di bawah umur untuk melakukan tindakan seksual, dianggap Adi sangat kontradiktif dengan putusan memvonis bebas pelaku.
“Hakim sudah menyatakan pelaku terbukti sah dan bersalah. Tapi ketika pelaku hanya diberikan tindakan dikembalikan kepada orang tuanya, menjadi anomali dan kontradiktif serta mencederai rasa keadilan bagi si korban,” terangnya.
Untuk itu, Adi pun meminta agar Kejaksaan Negeri Cilegon agar melakukan upaya banding atas putusan tersebut.
“Jika upaya banding sudah tidak memungkinkan karena lewat waktu dan putusan sudah inkracht. Maka kami menutut Jaksa mengupayakan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (MA),” pintanya.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Pelajar Islam Indonesia (PII) Wilayah Banten Bidang Keperempuanan, Debby Rosselini, yang juga mengecam atas putusan hakim yang dinilai telah merendahkan derajat perempuan dan anak.
Dijelaskan Debby, korban yang masih belia ini tentu akan mengalami trauma secara seksual, hal itu akan selalu dirasakan pada kehidupan korban ke depan.
“Akibat paling ujung adalah, korban akan merasa kesulitan untuk menikah, karena efek traumatik itu. Mengalami power less, sangat mungkin korban akan merasakan ketidakberdayaan ke depan. Mimpi buruk, phobia, kecemasan, perasaan tidak berdaya dan malu. Korban juga akan dilabelling negatif oleh masyarakat. Korban pada posisi sangat dirugikan dalam kasus ini,” ujar Debby.
Debby juga mempertanyakan bahwa putusan hakim tidak memperhatikan dari sisi sosiologis dan psikologi korban sebagai perempuan dan anak, tetapi hakim hanya melihat dari sisi laki-laki dan kenakalan remaja.
“Korban ini bisa merasa dirinya sudah rusak, sangat merasa bersalah sehingga hal ini menimbulkan rasa rendah diri tak berkesudahan. Lalu bisa saja berakibat fatal bahkan melakukan upaya-upaya bunuh diri. Karena psikologi dan mentalitas korban yang baru usia 12 tahun ini tentu harus direhabilitasi, apalagi pelakunya kembali bebas dan kapan saja bisa bertemu lagi dan melecehkan korban,” ungkap Debby.
Sedangkan Hans Purnama Putra, Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Reformasi Hukum LPA Banten menilai putusan hakim yang tidak memperhatikan sama sekali UU No.35/2014 tentang Perlindungan Anak.
“Padahal pada Pasal 76D UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak disebutkan pelaku kekerasan seksual dipidana paling rendah 5 tahun paling lama 15 tahun, dan denda Rp5 miliar. Tapi ini dengan entengnya menganggap ini perbuatan suka sama suka dan pelaku dikembalikan ke keluarga, lalu bagaimana nasib korban?” jelas Hans.
LPA maupun PII Banten juga berharap kepada Ketua PN Serang agar memeriksa dan mengevaluasi hakim dan putusannya dalam proses kasus tersebut.
“Jika Ketua PN Serang dalam hal ini tidak melaksanakan evaluasi terhadap putusan kasus ini, maka kami akan melayangkan laporan terhadap Komisi Yudisial,” tegas Hans.
Sebelumnya, kasus kekerasan seksual ini mencuat beberapa waktu lalu ketika keluarga korban melakukan pelaporan tindakan kekerasan seksual yang dilakukan seorang remaja berinisal AN ke Polres Kota Cilegon.
“Proses pengadilan berjalan cepat. Pada Maret 2019 dilaporkan, pada April sidang pertama yang dihadiri semua pihak, tanpa sidang lanjutan, bulan Mei, Hakim memvonis bebas si pelaku,” ucap pihak keluarga korban.
Menurut keluarga korban, pelaku sudah berkali-kali melakukan tindakan kekerasan seksual tersebut, “Dilakukan di beberapa titik. Di kamar mandi sekolah, di kamar mandi mesjid, di bekas kandang kambing hingga di tembok kampung setelah mengaji pas malam hari,” jelas keluarga korban.
Diketahui, meski dinyatakan secara sah dan terbukti bersalah telah melakukan kekerasan seksual terhadap gadis di bawah umur, PN Serang tetap menvonis bebas pelaku yakni terdakwa AN dikembalikan kepada orang tua, berdasarkan surat keputusan dari PN Serang dengan No. 13/Pid. Sus-Anak/2019/PN pada bulan Mei 2019 lalu.
TELAAHAN;
Telaahan Putusan PN Serang No 13/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Serang Sangat Tidak Memenuhi Rasa Keadilan bagi Anak Korban, dan Di Duga Akan Melegitimasi Anak Menjadi Pelaku Kekerasan Seksual
1. Yurisprudensi Putusan Pengadilan bisa menjadi salah satu dasar hukum ketika terjadi kasus serupa kedepan. Dan jika kita telaah pada Putusan PN Serang tersebut di atas, maka bisa di bayangkan, bagaimana jika ke depan ada kasus serupa, lalu putusan tersebut di jadikan yurisprudensi..
2. Anak usia17 tahun sebagai pelaku kekerasan seksual serta perbuatan tersebut dapat di buktikan di depan majelis hakim pengadilan, maka perbuatan tersebut bukan lagi sebagai juvenile delinquency (kenakalan remaja) melainkan sebagai suatu prilaku anak yang menyimpang, bahkan masuk pada kategori juvenile criminal (kriminal remaja).
3. Pada Pasal 76D UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak di sebutkan : “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Turunan dan ancamannya pada Pasal 81
(1) “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
4. Pasal 76E UU yang sama di sebutkan : “Setiap orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Turunan dan ancamannya pada Pasal 82
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
5. Sebagai korban, M, yang berusia sekitar 12 tahun bisa di pastikan akan mendapatkan konsekuensi besar bagi kehidupannya kedepan. Dampak yang di timbulkan dari kejadian ini bukan hanya berimbas kepada fisik, tapi juga kepada psikis nya:
A. Trauma secara seksual, akan selalu di rasakan pada kehidupan Korban ke depan. Akibat paling ujung adalah, korban akan merasa kesulitan untuk menikah, karena efek traumatik tersebut.
B. Power less. Korban akan merasakan ketidakberdayaan ke depan. Mimpi buruk, phobia, kecemasan, perasaan tidak berdaya dan malu.
C. Korban akan di labelling negatif oleh masyarakat. Merasa diri nya sudah rusak, sangat merasa bersalah sehingga hal ini menimbulkan rasa rendah diri tak berkesudahan. Lalu bisa saja berakibat fatal bahkan melakukan upaya-upaya bunuh diri.
Bahkan bukan hanya korban, seluruh keluarga korban akan juga ikut merasakan hal yang sama, meski kadarnya berbeda.
6. Dalam Hukum Acara Pidana, setiap keputusan hakim harus berlandaskan 3 kategori pertimbangan, yaitu :
A. Pertimbangan Yuridis
B. Pertimbangan Sosiologis
C. Usia Pelaku.
Berdasarkan dokumen putusan PN Serang tentang kasus tersebut, tidak ada satu pun pertimbangan yang bisa membuat anak hanya mendapatkan hukuman tindakan dikembalikan kepada kedua orang tua.
7. Ada satu peraturan hukum yang juga di lupakan oleh Majelis, yaitu Peraturan Pemerintah No. 43 th 2017 tentang Restitusi. PP ini adalah pelaksanaan pasal 71 ayat 2, UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. PP ini mengatur tentang proses pelaksanaan restitusi bagi Anak korban tindak pidana. Maka sesuai dengan peraturan ini, anak korban harus bisa mendapatkan restitusi baik dari pelaku atau negara.
8. Meski Hakim menyatakan bahwa Pelaku terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dan melakukan tindak pidana membujuk anak melakukan persetubuhan dengan pelaku (bahkan) perbuatannya berulang, tetapi hal ini menjadi anomali dan atau kontradiktif serta menciderai rasa keadilan bagi korban ketika Pelaku hanya diberikan tindakan berupa pengembalian kepada orang tua. Padahal di dalam pasal 23 ayat (1) dan (2) UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan bahwa, pada anak berkategori nakal/kriminal, dan berusia di atas 14 tahun dapat di jatuhkan Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Sesuai dengan 3 pertimbangan di atas.
Tindakan pengembalian anak kepada kedua orang tua, hanya bisa diberikan pada anak dibawah 14 tahun. Sedangkan pada Anak di bawah usia 12 tahun, proses pidana nya tidak dapat diteruskan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka LPA Provinsi Banten yang berafiliasi kepada LPA Indonesia/LPAI, menuntut :
1. Kepada Jaksa pada Kejaksaan Negeri Cilegon, agar melakukan upaya Banding atas putusan tersebut.
2. Jika upaya banding sudah tidak memungkinkan dikarenakan lewat waktu, dan putusan sudah inkracht, maka kami menuntut agar Jaksa mengupayakan Peninjauan Kembali kepada MA.
3. Kepada Ketua PN Serang agar memeriksa dan mengevaluasi Hakim serta putusannya dalam proses kasus tersebut.
4. Jika Ketua PN Serang dalam hal ini tidak melaksanakan evaluasi terhadap putusan kasus ini, maka kami akan melayangkan laporan terhadap Komisi Yudisial.
5. Kepada masyarakat agar tidak melakukan pembiaran pada kasus-kasus serupa, terlebih dalam hal ini korban dan pelaku sama-sama usia anak. (*)